Menyoal (Lagi) Hukum Mengucapkan ‘Selamat Natal’

Gambar Ilustrasi (Sumber: panduanwisata.id)
  
أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah

--------

Fakta pertama:
Setiap akhir tahun, ada dua ‘gelaran’ yang menarik perhatian beberapa kaum di Indonesia: perayaan Natal dan perdebatan mengenai kebolehan umat muslim mengucapkan ‘selamat Natal’ kepada umat kristiani.

Fakta kedua:
Pada masa Orba, banyak rakyat muslim di Indonesia yang mengikuti upacara perayaan Natal di gereja-gereja bersama umat kristiani. Hal tersebut membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tanggal 1 Maret 1981, dimana poin kedua fatwa tersebut berbunyi: “Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram”.

Fakta ketiga:
Atas pertimbangan lain, pada tanggal 14 Desember 2016 MUI kembali mengeluarkan fatwa yang berbunyi: “Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram”, yang diberikan penjelasan di bawahnya bahwa: “Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai atau digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah maupun tradisi dari agama tertentu”.

Pada dasarnya, perbedaan pendapat ulama di Indonesia dalam hukum mengucapkan ‘selamat Natal’ berangkat dari perbedaan perspektif. Karena, baik dalam Alquran maupun Sunnah tidak ditemukan sebuah dalil qath’iy yang mengharamkan pengucapan tersebut. Sehingga polemik ini termasuk ke dalam ranah pengambilan hukum dari ijma’ dan qiyas.

Berangkat dari hal itu, sampai saat ini MUI belum pernah mengeluarkan fatwa terkait hukum tersebut. Imbasnya, perdebatan antara kelompok ‘yang membolehkan’ dan ‘yang mengharamkan’ tidak dapat dihindari.

Kelompok yang mengharamkan berdalil bahwa makna dari ucapan tersebut adalah pengakuan atas kelahiran Yesus sebagai anak Tuhan. Analoginya, ketika kita mengucapkan ‘selamat ulang tahun’ berarti kita mengakui orang tersebut lahir pada tanggal tertentu. Atau ketika mengucapkan ‘selamat atas pelantikan jabatan’ kepada seseorang berarti kita mengakui dirinya sebagai pejabat baru. Sehingga pengucapan ‘selamat’ diartikan sebagai ‘pengakuan’. Implikasinya, ketika kita mengucapkan ‘selamat Natal’ berarti kita mengakui bahwa Yesus (Nabi Isa) adalah anak Tuhan.

Di samping itu, mereka berpendapat bahwa meskipun ucapan ‘selamat Natal’ hanyalah sebuah ucapan, hal tersebut tidak dapat diremehkan. Dalilnya, ketika seseorang mengucapkan syahadat, otomatis orang tersebut menjadi muslim seketika. Ketika seorang muslim mengucapkan kalimat akad nikah pada sebuah pernikahan, seketika istri yang dia pinang menjadi halal untuknya. Ketika seorang muslim mengucapkan kata talak/cerai kepada istrinya, maka akan jatuh hukum cerai bagi istrinya. Maka mereka berpendapat bahwa ketika seorang muslim mengucapkan ‘selamat Natal’, bisa saja ia sudah menjadi murtad.

Dari sini kemudian mereka menghubungkan hukum pengucapan tersebut sebagai masalah asasiyah/akidah, bukan furu’iyah. Karena beranggapan hal tersebut menyangkut ranah iman.

Sebenarnya polemik ini hanya berputar pada permainan analogi saja. Tidak adanya dalil qath’iy agama tentang hukum pengucapan tersebut memberikan kebebasan pada akal manusia untuk berpikir dan berkontemplasi mencari jawaban.

Menurut saya sendiri, beberapa analogi yang disampaikan di atas kurang tepat. Memang benar kata ‘selamat' itu bisa berarti ‘pengakuan’. Namun ‘pengakuan’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Apa perkara yang ‘diakui’ tersebut? Tidak bisa serta merta kita mengklaim bahwa muslim yang mengucapkan ‘selamat Natal’ tersebut berarti ‘mengakui’ Nabi Isa sebagai anak Tuhan. Tidak ada manusia yang bisa dengan mudahnya menilai akidah seseorang hanya dilihat dari ucapannya. Kecuali jika ucapan tersebut bermakna eksplisit dan sudah baku, seperti ucapan syahadat.

Lagi pula, kata ‘selamat’ itu tidak selamanya berarti ‘pengakuan’. Bisa juga ia bermakna ‘penghargaan’, ‘penghormatan’ atau ‘harapan’. Implikasinya, ketika seorang muslim—katakanlah si A—mengucapkannya kepada kaum kristiani, itu berarti ia ‘mengakui’, ‘menghargai’ dan atau ‘menghormati’ eksistensi perayaannya. Dalam arti dia berkata, “selamat merayakan suatu keyakinan yang kalian anggap benar”. Atau “selamat berbahagia dengan keyakinan dan perayaan kalian”. Bukan berarti dia juga ikut merayakan dan membenarkan keyakinan tersebut (Nabi Isa sebagai anak Tuhan). Sekali lagi, manusia mana yang dapat menjamin lurus-tidak akidah si A tersebut hanya dinilai dari ucapan yang ia sampaikan. Tidak ada yang pantas. Masalah akidah hanya urusan individu hamba dengan Tuhan-nya.

Analogi selanjutnya yang mereka berikan yaitu terkait buah dari pengucapan itu sendiri. Memang benar semua implikasi hukum yang diakibatkan dari pelafalan atau pengucapan seperti talak, akad nikah atau syahadat itu bersifat mengikat dan mengubah identitas seseorang. Tapi semua hukum tersebut berlaku karena memang ada dalil naqli qath’iy yang sudah jelas baik dalam Alquran, Sunnah maupun ijma’ ulama. Mengapa seorang muslim menjadi halal untuk menggauli perempuan yang dinikahinya setelah melafalkan akad nikah? Karena sudah menjadi ketetapan hukum dalam ilmu fikih (baca: rukun nikah). Mengapa seorang istri terkena hukum talak ketika suaminya berkata ‘talak’ atau ‘cerai’ kepadanya, meskipun hanya bermain-main? Karena sudah didalilkan dalam al-Baqarah ayat 228-232. Mengapa dengan mengucapkan syahadat seseorang menjadi muslim? Karena sudah menjadi salah satu rukun dalam rukun Islam dengan dalil hadits shahih riwayat Imam Muslim.

Sementara itu, dalil apa yang membuat pelafalan atau pengucapan ‘selamat Natal/selamat merayakan Natal’ kepada kaum kristiani menjadikan seorang muslim berpindah agama? Tidak ada satu pun ulama yang sudah menemukannya, setidaknya sampai saat ini. Ucapan tersebut hanyalah ucapan tahn`iah (ucapan selamat) seperti halnya selamat bekerja, selamat menjalankan ujian, selamat menempuh hidup baru. Tidak bisa disamaratakan atau disamakan derajatnya dengan ucapan-ucapan ‘keramat’ di atas.

Maka sudah jelas hukum kebolehan pengucapan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan ranah akidah. Ulama saja banyak yang berbeda pendapat. Akal manusia yang sehat pasti sudah bisa menyimpulkan sendiri termasuk ke dalam ranah yang mana polemik ini.

Adapun terkait pertanyaan apakah benar Yesus atau Nabi Isa lahir pada tanggal 25 Desember. Saya kira itu tidak ada hubungannya dengan kebolehan mengucapkan selamat kepada mereka. Lagi pula tidak semua umat kristiani merayakan Natal pada 25 Desember. Sebagian besar Gereja Ortodoks masih merayakan Natal berdasarkan kalender Julian, yaitu tanggal 7 Januari. Sedangkan Gereja Ortodoks Armenia pada tanggal 6 Januari.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa perayaan Natal tersebut erat kaitannya dengan sejarah tradisi paganisme Romawi. Ada juga yang mengatakan perayaan Natal berasal dari tradisi perayaan Epifania (pesta Pemunculan Tuhan) sebuah sekte Kristen kuno di Mesir. Terlepas dari dua hal tersebut, perayaan Natal sudah menjadi tradisi yang ditetapkan oleh Gereja Kristen di seluruh dunia secara umum. Meskipun pada zaman modern ini cenderung lebih bersifat komersial, terutama dalam tradisi Barat.

Maka, apa salahnya ketika kita menghargai dan menghormati perayaan mereka dengan hanya mengucapkan kalimat tahni`ah. Selama hal tersebut dapat menjaga rasa persaudaraan dan solidaritas antar manusia sebangsa, tidak ada yang patut dipermasalahkan.

Saya bukan sedang menghakimi, tetapi hanya menyampaikan. Tentu ini hanya opini saya pribadi. Pembaca boleh setuju boleh tidak. Oleh karenanya saya tidak melarang jika ada seorang muslim yang mengucapkannya kepada umat kristiani. Sebagaimana saya juga tidak memaksa orang yang tidak sependapat untuk mengucapkannya. Karena itu kembali kepada perspektif masing-masing.

Semoga setelah menulis ini saya tidak lagi terlibat dalam perdebatan seputar tema ini di tahun-tahun berikutnya.


Wallahu a’lam.

Komentar

Posting Komentar

Konten Populer

Mengetahui Perbedaan Makna Mufrodat Bahasa Arab

Hati-Hati dalam Membedakan Makna Mufrodat Ini

15 Alasan Kenapa Kuliah di Al-Azhar Mesir Itu 'Sunnah' (Bagian 1)